Jumat, 16 April 2010

MASA DEPAN AGAMA DI PERKOTAAN

Arus globalisasi yang tidak terhindarkan mengakibatkan dunia terbentuk menjadi sebuah desa global (global village) yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Hampir tidak ada batas jarak, ruang, dan waktu. Era globalisasi sebagaimana tampak sekarang ditandai oleh proses reformasi informasi dan cara kerja manusia. Seperti beralihnya pekerjaan kantor dan pabrik yang terpusat (sentralisasi) kepada pekerjaan di rumah-rumah di depan komputer, internet dan sebagainya (desentralisasi). Keadaan ini menimbulkan efek negatif dimana manusia berada dalam kondisi terisolasi dan terasing dari norma-norma yang ada dalam masyarakat, baik agama maupun sosial. Gejala-gejala ini umumnya terjadi di perkotaan, dan sudah mulai pula merambah wilayah pedesaan.
Hal ini mau tidak mau mempengaruhi corak keberagamaan masyarakat (khususnya di perkotaan), karena itu metode dan media dakwah juga harus disesuaikan akibat kemajuan teknologi tersebut - meskipun metode dakwah secara tradisional tetap masih dipakai. Kini, penyampaian dakwah sudah tidak dibatasi pada khutbah, ceramah, pengajian, halakah, tabligh akbar, daurah, dan sebagainya. Pesan-pesan dan nasehat agama bisa diakses melalui sms, internet, televisi, radio, rekaman CD, dan buku-buku agama.

Melihat kenyataan-kenyataan di atas, maka akan terjadi dua macam kemungkinan tentang nasib agama bagi masyarakat modern (perkotaan). Pertama, agama tidak akan lagi relevan dan fungsional dalam konteks modernisasi. Dimana ciri dasar masyarakat perkotaan cenderung bersifat individualis, materialis, hedonis, pragmatis, rasional, dan formal. Kedua, agama akan kembali memainkan peran dan fungsinya, dimana masyarakat memperoleh pencerahan, kesadaran baru akan pentingnya agama sebagai petunjuk hidup, sebagaimana juga telah muncul dan sedang berlangsung akhir-akhir ini. Agama (Tuhan) dibutuhkan ketika manusia tidak mampu lagi menyelesaikan problem yang dihadapinya.

Cara keberagamaan orang kota yang cenderung kemodernan-materialistk tersebut mempunyai ciri-ciri: (1). Terjadi sekularisasi dalam kehidupan beragama. Yaitu cara pandangan hidup yang memisahkan antara urusan dunia dengan urusan agama. (2). Pemahaman atau persepsi masyarakat yang telah mengalami pergeseran bahkan perubahan. Kalau dahulu agama dipahami sebagai sumber moral, etika, dan norma hidup serta menjadi motif dari seluruh kegiatan hidupnya, namun sekarang motif tersebut sudah dikacaukan oleh yang lain (modernisme-materialisme). Dulu agama masih dipandang sakral, penuh kekhidmatan, serta memiliki kesucian yang tinggi, sekarang terasa hambar. Kalaupun pergi ke masjid misalnya, nilai kekudusannya telah hilang. (3). Nilai-nilai transenden dan moralitas banyak diremehkan orang. Sehingga seorang agamawan, ustaz, kyai, dalam status sosialnya mengalami pergeseran. Dulu memiliki kharisma dan status yang tinggi. Tetapi sekarang status yang demikian telah diduduki oleh orang berpangkat dan berharta. (4). Agama hanya sekedar sebagai alat instrumen kehidupan serta alat legitimasi dari apa yang diperbuat. Dalam wacana politik, hal ini dijadikan sebagai status quo sebagai alat justifikasi kepentingan pribadi dan kelompok. Sehingga banyak bermunculan organisasi sekuler yang diberi label keagamaan. (5). Dalam menghadapi problema kehidupan, agama tidak memiliki peranan langsung sebagai alat memecahkan masalah, malah kadang tidak tampil sama sekali, ia dijadikan sebagai privat bisnis. Dalam masyarakat perkotaan hanya berfungsi sebagai sub kecil saja. Sehingga fungsi sosial para agamawan hanya sebagai pelengkap. (6). Otoritas agama semakin melemah, lembaga-lembaga keagamaan hanya diminati oleh sebagian kecil masyarakatnya. Satu-satunya kelompok dalam masyarakat yang merupakan pendukung kesalehan etis adalah kelompok perkotaan tertentu yang hanya ada di kalangan kelas bawah dan menengah. (7). Sektor-sektor umum yang dominan seperti industri, politik, dan hukum telah dilepaskan dari tujuan-tujuan agama yang mengikat. (Anas, 2006).

Meskipun demikian, ada pendapat yang tetap optimis bahwa agama tidak akan pernah hilang dalam kehidupan lalu digantikan oleh kehidupan yang sepenuhnya sekuler seperti yang dinyatakan oleh Toffler (1990). Menurutnya, walaupun ada perubahan, hanya terjadi pada aspek-aspek tradisi atau sistem keyakinan, bukan terhadap teks atau doktrin-doktrinnya. Dalam segmen-segmen tertentu tidak sampai merubah apalagi menghilangkannya dalam masyarakat (termasuk di perkotaan). Bahkan ada gejala sebaliknya dengan menolak beberapa segi dari modernitas itu sendiri. Dalam hal ini berlaku semboyan, �Setia pada nilai-nilai religius, namun tetap terbuka terhadap modernitas�.

Di Indonesia ditandai dengan munculnya lembaga atau institusi keagamaan yang cukup modern serta mendapatkan tempat tersendiri bagi kalangan elit seperti Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Group Tazkia, liman, dan Paramadina. Demikian juga muncul lembaga pengkajian yang langsung bersentuhan dengan kepentingan masyarakat luas seperti CIDES. Selain itu juga muncul banyak muballigh �selebritis� yang menggunakan sarana-sarana teknologi informatika seperti sms, handphone, TV, dan internet sebagai media dakwah.

Tanpa menguasai alat modern sebagai produk teknologi yang melahirkan lautan informasi, umat islam tidak akan memenangkan pertarungan abad 21 melawan Barat. Tidak ada halangan bagi kita untuk mengambil dari peradaban barat atau peradaban lainnya yang bermanfaat dan menerapkannya sesuai dengan kaidah-kaidah agama, sistem hidup dan kebutuhan umat. (Anwar, 1993).

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa adanya gejala kesadaran beragama pada masyarakat perkotaan yang secara langsung tersentuh oleh proses modernisasi, dimana mereka tetap menerimanya dalam batas-batas tertentu, namun sekaligus berusaha tetap mempertahankan agama yang diyakininya. Ada selektifitas terhadap mana yang bersifat aksesoris, bisa dimodifikasi dan mana yang tetap ditransendenkan/disakralkan dalam keberagamaan. (Majid, 1983).

Strategi pengembangan pemahaman keagamaan
Kemungkinan terjadinya nasib agama seperti di atas (agama yang tidak relevan dan fungsional dalam kehidupan manusia atau sebaliknya agama yang tetap dibutuhkan sebagai petunjuk hidup) sangat tergantung kepada usaha para pengemban agama, rohaniwan, ulama, ustaz, dai, muballigh secara bersama-sama. Di tangan merekalah tugas dan tanggungjawab untuk mengimplementasikan visi dan strategi pemahaman keagamaan di masa mendatang.

Kehidupan modern hanya akan mempertimbangkan agama yang sesuai dengan ciri kehidupan tersebut. Yaitu agama yang dapat dipahami secara rasional, agama yang diperkenalkan secara fungsional, kontekstual, dan aktual, agama yang membawa rahmah. Bukan agama yang dipenuhi oleh ketegangan dan dipahami sebagai hitam-putih.

Untuk tujuan tersebut, maka diperlukan pola pengembangan pemahaman keagamaan dengan langkah-langkah:
1. Reinterpretasi ajaran-ajaran agama agar sesuai dengan kontekstual kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat modern.
2. Mengelola instansi-instansi dan lembaga-lembaga keagamaan/dakwah secara profesional dengan memperhatikan psikologi dan sosiologi masyarakat perkotaan.
3. Memperkenalkan Islam kepada masyarakat modern melalui berbagai media yang memungkinkan secara arif dan persuasif, bukan hanya mengandalkan khutbah-khutbah, ceramah-ceramah di masjid.
4. Meninggalkan struktur pemahaman masyarakat yang berpola pikir parsial, puritan mutlak dan primordial menuju ke arah transformasi masyarakat berpola pikir mendunia, bebas, dan universal.


Referensi : http://riau.depag.go.id/index.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar